Wednesday, 20 March 2013

Undangan Hijrah dan Mabit

          Hijrah, bagi Rasulullah dan para sahabat merupakan pengorbanan yang begitu mengiris perasaan. Ini merupakan perjalanan yang serba mengambang. Tanpa harapan, tak jelas kesudahannya. Mereka terima segala konsenkuensi yang akan dihadapi. Apatah lagi yang biasa berkecukupan, keluarga, rumah yang nyaman, tempat usahan yang prospektif, semua harus ditinggalkan untuk mengejar ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat yang menjanjikan. Suhaib bin Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun usahanya di mekah harus meninggalkan sukses yang ia bangun dari nol itu. Ia tak membawa apapun ke Madinah. Rombongan pengejar Quraisy mencegatnya hingga ia berkata,”jika kalian biarkan aku lewat, aku tak peduli lagi jika kalian apakan segala milikku.  Itu semua menjadi hak kalian!" komentar manusiawi atas peristiwa itu tentu berbunyi “Suhaib bangkrut!” tapi dengan keimanan ternyata menyusun sebuah kalimat lain di lisan Rasul-Nya yang berbunyi, ”Rabiha Shuhaib, Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!” (SAF dalam bukunya Bahagia Merayakan Cinta)

        Hijrah juga menceritakan kisah keberanian umar yang berangkat dengan pamit berupa tantangan. ia tidak seperti orang lain yang berangkat sembunyi-sembunyi. Adapun Ali bin Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat yang dititipkan oleh Rasulullah Saw, kepada pemilik-pemiliknya di Mekah. Ali ra menempuh perjalanannya ke Madinah dengan berjalan kaki. Jarak dari Mekah ke Madinah cukup jauh, sekitar 600 km. Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk menyusul saudara-saudaranya seagama.
      Pengertian Mabit dalam situs bersama bersamadakwah.com adalah salah satu sarana tarbiyah (wasa'ilut tarbiyah). Secara bahasa, mabit berarti bermalam. Istilah yang sangat masyhur kita dapati pada salah satu rangkaian ibadah haji yaitu mabit di Mina. Dalam terminologi dakwah dan tarbiyah, mabit adalah adalah salah satu sarana tarbiyah untuk membina ruhiyah, melembutkan hati, membersihkan jiwa, dan membiasakan fisik untuk beribadah (khususnya shalat tahajjud, dzikir, tadabbur dan tafakkur). Untuk memudahkan memahami definisi ini, biasanya mabit dijadikan akronim dari Malam Bina Iman dan Taqwa. Adapun adabnya dapat di telusuri di situs tersebut.
          Tapak kilas pengalaman mabit yaitu ketika ada undangan agenda yang dilanjutkan dengan mabit (malam bina iman dan takwa), tentu dengan menginap. Biasanya agenda ini berupa pelatihan dan diskusi yang dikemas dalam 2 hari 1 malam. Maka satu malam itu di katakan mabit. Yang dilakukan pada malam hari tersebut berupa diskusi lanjutan sesuai agenda dan berakhir maksimal pada pukul 22.00WIB. Lalu dilanjutkan untuk aktivitas pribadi bisa bersih-bersih, berkemas, tilawah, membaca, juga ada yang mengerjakan tugas kuliah disela-sela itu, atau langsung istirahat. Kemudian sekitar jam 3 sudah ada yang mulai bangun untuk Qiyamul Lail (shalat malam) juga di sebut QL, ujung-ujungnya semua penghuni/peserta dibangunkan untuk melakukan QL hingga subhu menjelang.
              Apa yang menjadi alasan judul tulisan undangan hijrah dan mabit. Di awal tulisan sudah diuraikan nuansa kebatinan para perserta Hijrah yaitu sahabat Rasulullah Saw. Begitu sulitnya untuk berhijrah. Lalu hubunganya dengan mabit yang saya maksud ialah adanya rintangan dalam melangkahkan kaki seperti izin orang tua  (biasanya banyak menjadi masalah dalam kalangan akhwat/putri),  jauh tempatnya, jaga rumah, sibuk, dan hal-hal lainnya yang dapat dijadikan alasan untuk tidak mabit. Sehingga pasrah jadi alasan pemungkas dan muktahir.
            
          Saudaraku, pasrah dilakukan jika kita telah melakukan serangkaian usaha yaitu disebut tawakal adanya usaha dan doa sebagai senjata kita seorang mukmin, tawakal yang ditawarkan:
  • Usaha yang kita lakukan ialah dengan menjelaskan, mempromosi, dan lebih banyak merayu tentang keikutsertaan kita dalam kegiatan tersebut, sebaiknya 3 hari sebelum hari H, sehingga bila gagal merayu orangtua, maka dapat digencarkan rayuan itu sampai ke hari H.
  • Berlaku baik kepada orang tua dengan lebih rajin membantu orang tua dan hal-hal lain yang menyenangkan orangtua, kemudian diiringi doa: 
  • Berdoa untuk diberikan jalan agar dapat mengikuti dan sampai ke tujuan mabit dengan selamat,
  • Berdoa agar dilembutkan hati orangtua dan keluarga sehingga kita memperoleh restu ke agenda mabit. Hal tersebut dilakukan agar orang tua mengerti kegiatan yang kita lakukan merupakan kegiatan positif, mengkomunikasikan bila sewaktu-waktu ada kegiatan keluarga sehingga kita dapat mengusahakan tidak meninggalkan agenda mabit.
            Sulitnya mengikuti kegiatan Mabit tidak sebanding dengan kesulitan para sahabat dalam berhijrah (dimana larangan berhijrah oleh kaum Quraisy dengan mempertaruhkan harta, nyawa, dan keluarga). Bila kita ingin merasakan sedikit nuansa kebatinan, kesulitan, dan kegalauan sahabat dalam memutuskan dan melagkahkan kaki untuk berhijrah, maka ikutlah mabit. Bersyukurlah bagi mereka yang mampu pergi mabit seringan Umar berhijrah, penuh keberanian dan tanpa kekahwatiran.
             Memang kita bukan Abdurahman bin Auf, atau Shuhaib bin Sinan yang rela meninggalkan harta dan keluarga demi Hijrah dari Mekah ke Madinah yang tak jelas nasibnya namun yakin dengan keimanan. Namun setibanya mereka di Madinah, betapa tak disangka mereka menerima sambutan yang hangat dari saudara seiman yang tadinya tak pernah diknal, tak saling tatap, bahkan tak pernah berjabat tangan. Maka cukuplah dengan pelukan hangat dan salam penuh takjub diiringi dengan lelehan air mata kaum Anshor (penduduk Madinah) menyambut kaum Muhajirin (penduduk Mekah yang Hijrah). Wujud cinta kaum Anshor terhadap saudaranya yang berhijrah tersebut sungguh tidak masuk akal, sampai-sampai Abdurrahman bin Auf ditawarkan untuk menerima sebagian harta dan segala fasilitas oleh kaum Anshor yang dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw. (kalau zaman sekarang siapa sih yang mau kasih sebagian harta yang dimiliki dan sanggup menceraikan istri yang disukai untuk diinikahkan kepada seseorang yang baru saja detik itu dipersaudarakan dan dikenal.)
            Sedangkan kita dalam mengikuti mabit telah tahu tujuan jelas dengan segala fasilitas yang akan kita dapatkan (jelas nasibnya) masih sulit untuk melangkah. Tak rindukah kita dengan saudara kita yang lainnya, sambutan hangat penuh cinta dari saudara kita yang mungkin hanya pernah mendengar namanya, sekilas bertatap, atau tak pernah mengenal sama sekali. Tak penasarankah  kita bagaimana cara ukhuwah itu bekerja, akankah kita disambut layaknya kaum Anshor kepada Muhajirin. Undangan Hijrah dan Mabit memang undangan dalam rangka takwa kita kepada Allah,  wujud keyakinan. Hijrah dan Mabit sama-sama perjuangan untuk meninggalkan sesaat keluarga dan fasilitas kemudian kembali, namun dalam kadar kesulitan dan pengorbanan yang jauh hingga Mabit tidak dapat disamakan dengan Hijrah pertama kaum muslim. Adapun dalam perjuangan Mabit dengan segala suansananya, kita berusaha memahami dan merasakan bagaimana perjuangan Hijrah itu. 
Wallahualam

0 comments:

Post a Comment

 
;