Hijrah, bagi Rasulullah dan para sahabat merupakan pengorbanan yang begitu
mengiris perasaan. Ini merupakan perjalanan yang serba mengambang. Tanpa harapan,
tak jelas kesudahannya. Mereka terima segala konsenkuensi yang akan dihadapi. Apatah lagi yang biasa
berkecukupan, keluarga, rumah yang nyaman, tempat usahan yang prospektif, semua
harus ditinggalkan untuk mengejar ketidakjelasan. Apalagi Madinah bukan tempat
yang menjanjikan. Suhaib bin Sinan, imigran Romawi yang gemilang membangun
usahanya di mekah harus meninggalkan sukses yang ia bangun dari nol itu. Ia tak
membawa apapun ke Madinah. Rombongan pengejar Quraisy mencegatnya hingga ia
berkata,”jika kalian biarkan aku lewat, aku tak peduli lagi jika kalian apakan
segala milikku. Itu semua menjadi hak kalian!" komentar manusiawi
atas peristiwa itu tentu berbunyi “Suhaib bangkrut!” tapi dengan keimanan
ternyata menyusun sebuah kalimat lain di lisan Rasul-Nya yang berbunyi, ”Rabiha
Shuhaib, Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!” (SAF dalam bukunya Bahagia Merayakan Cinta)
Hijrah juga menceritakan kisah
keberanian umar yang berangkat dengan pamit berupa tantangan. ia tidak seperti
orang lain yang berangkat sembunyi-sembunyi. Adapun Ali bin
Abi-Talib ra menyusul, setelah mengembalikan barang-barang amanat yang
dititipkan oleh Rasulullah Saw, kepada pemilik-pemiliknya di Mekah.
Ali ra menempuh perjalanannya ke Madinah dengan berjalan kaki. Jarak dari Mekah ke Madinah cukup jauh, sekitar 600 km.
Malam hari ia berjalan, siangnya bersembunyi. Perjuangan yang sangat
meletihkan itu ditanggungnya selama dua minggu penuh, yaitu untuk
menyusul saudara-saudaranya seagama.
Pengertian Mabit dalam situs bersama bersamadakwah.com adalah salah satu
sarana tarbiyah (wasa'ilut tarbiyah). Secara bahasa, mabit berarti
bermalam. Istilah yang sangat masyhur kita dapati pada salah satu rangkaian
ibadah haji yaitu mabit di Mina. Dalam terminologi dakwah dan tarbiyah, mabit
adalah adalah salah satu sarana tarbiyah untuk membina ruhiyah, melembutkan
hati, membersihkan jiwa, dan membiasakan fisik untuk beribadah (khususnya
shalat tahajjud, dzikir, tadabbur dan tafakkur). Untuk memudahkan memahami
definisi ini, biasanya mabit dijadikan akronim dari Malam Bina Iman dan Taqwa.
Adapun adabnya dapat di telusuri di situs tersebut.
Tapak kilas pengalaman mabit yaitu ketika ada undangan agenda yang dilanjutkan
dengan mabit (malam bina iman dan takwa), tentu dengan menginap. Biasanya
agenda ini berupa pelatihan dan diskusi yang dikemas dalam 2 hari 1 malam. Maka
satu malam itu di katakan mabit. Yang dilakukan pada malam hari tersebut berupa
diskusi lanjutan sesuai agenda dan berakhir maksimal pada pukul 22.00WIB. Lalu
dilanjutkan untuk aktivitas pribadi bisa bersih-bersih, berkemas, tilawah,
membaca, juga ada yang mengerjakan tugas kuliah disela-sela itu, atau langsung
istirahat. Kemudian sekitar jam 3 sudah ada yang mulai bangun untuk Qiyamul
Lail (shalat malam) juga di sebut QL, ujung-ujungnya semua penghuni/peserta
dibangunkan untuk melakukan QL hingga subhu menjelang.
Apa yang menjadi alasan judul tulisan undangan hijrah dan mabit. Di awal
tulisan sudah diuraikan nuansa kebatinan para perserta Hijrah yaitu sahabat
Rasulullah Saw. Begitu sulitnya untuk berhijrah. Lalu hubunganya dengan mabit
yang saya maksud ialah adanya rintangan dalam melangkahkan kaki seperti izin
orang tua (biasanya banyak menjadi masalah dalam kalangan akhwat/putri), jauh tempatnya, jaga rumah, sibuk, dan hal-hal
lainnya yang dapat dijadikan alasan untuk tidak mabit. Sehingga pasrah jadi
alasan pemungkas dan muktahir.
Saudaraku, pasrah
dilakukan jika kita telah melakukan serangkaian usaha yaitu disebut tawakal
adanya usaha dan doa sebagai senjata kita seorang mukmin, tawakal yang
ditawarkan:
- Usaha yang kita lakukan ialah dengan menjelaskan, mempromosi, dan lebih banyak merayu tentang keikutsertaan kita dalam kegiatan tersebut, sebaiknya 3 hari sebelum hari H, sehingga bila gagal merayu orangtua, maka dapat digencarkan rayuan itu sampai ke hari H.
- Berlaku baik kepada orang tua dengan lebih rajin membantu orang tua dan hal-hal lain yang menyenangkan orangtua, kemudian diiringi doa:
- Berdoa untuk diberikan jalan agar dapat mengikuti dan sampai ke tujuan mabit dengan selamat,
- Berdoa agar dilembutkan hati orangtua dan keluarga sehingga kita memperoleh restu ke agenda mabit. Hal tersebut dilakukan agar orang tua mengerti kegiatan yang kita lakukan merupakan kegiatan positif, mengkomunikasikan bila sewaktu-waktu ada kegiatan keluarga sehingga kita dapat mengusahakan tidak meninggalkan agenda mabit.
Sulitnya mengikuti
kegiatan Mabit tidak sebanding dengan kesulitan para sahabat dalam berhijrah (dimana larangan berhijrah oleh
kaum Quraisy dengan mempertaruhkan harta, nyawa, dan keluarga). Bila kita
ingin merasakan sedikit nuansa kebatinan, kesulitan, dan kegalauan sahabat
dalam memutuskan dan melagkahkan kaki untuk berhijrah, maka ikutlah mabit. Bersyukurlah
bagi mereka yang mampu pergi mabit seringan Umar berhijrah, penuh keberanian
dan tanpa kekahwatiran.
Memang kita bukan
Abdurahman bin Auf, atau Shuhaib bin Sinan yang rela meninggalkan harta dan keluarga demi Hijrah dari Mekah ke
Madinah yang tak jelas nasibnya namun yakin dengan keimanan. Namun setibanya
mereka di Madinah, betapa tak disangka mereka menerima sambutan yang hangat
dari saudara seiman yang tadinya tak pernah diknal, tak saling tatap, bahkan
tak pernah berjabat tangan. Maka cukuplah dengan pelukan hangat dan salam penuh
takjub diiringi dengan lelehan air mata kaum Anshor (penduduk Madinah)
menyambut kaum Muhajirin (penduduk Mekah yang Hijrah). Wujud cinta kaum Anshor
terhadap saudaranya yang berhijrah tersebut sungguh tidak masuk akal, sampai-sampai Abdurrahman
bin Auf ditawarkan untuk menerima sebagian harta dan segala fasilitas oleh kaum Anshor yang dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw. (kalau zaman sekarang siapa sih yang mau kasih sebagian harta yang dimiliki dan sanggup menceraikan istri yang disukai untuk diinikahkan kepada seseorang yang baru saja detik itu dipersaudarakan dan dikenal.)
Sedangkan kita dalam mengikuti mabit telah tahu tujuan jelas dengan segala fasilitas yang akan kita dapatkan (jelas nasibnya)
masih sulit untuk melangkah. Tak rindukah kita dengan saudara kita yang lainnya,
sambutan hangat penuh cinta dari saudara kita yang mungkin hanya pernah
mendengar namanya, sekilas bertatap, atau tak pernah mengenal sama sekali. Tak
penasarankah kita bagaimana cara ukhuwah
itu bekerja, akankah kita disambut layaknya kaum Anshor kepada Muhajirin. Undangan
Hijrah dan Mabit memang undangan dalam rangka takwa kita kepada Allah, wujud keyakinan. Hijrah dan Mabit sama-sama
perjuangan untuk meninggalkan sesaat keluarga dan fasilitas kemudian kembali,
namun dalam kadar kesulitan dan pengorbanan yang jauh hingga Mabit tidak dapat
disamakan dengan Hijrah pertama kaum muslim. Adapun dalam perjuangan Mabit
dengan segala suansananya, kita berusaha memahami dan merasakan bagaimana perjuangan
Hijrah itu.
Wallahualam
Wallahualam
0 comments:
Post a Comment