Friday, 5 July 2013

Masjid Jogokariyan (Bagaimana Masjid Berfungsi Dengan Sebenarnya)


           Datanya negeri ini memiliki lebih dari 1 juta masjid; besar dan kecil. Berapa yang jadi beban dibandingkan diberdayakan. Ratusan masjid membebani jamaah tuk listrik, air, dan kebersihan padahal pemanfaatannya hanya shalat dan tak pernah penuh. Asset masjid berupa jutaan m2 tanah dan bangunan dinilai dari aspekmanapun; spiritual, sosial, dan ekonomi sangat tidak produktif. Padahal, soal masjid adalah ideologi sekaligus subtansi peradaban islam. Lawannya: ideologia dan subtansi peradaban pasar..
            Sebaik-naiknya tempat dimuka bumi ini yang dicintai Allah adalah Masjid. Seburuk-buruknya ialah pasar. Sebagaimana pendapat Abu bakar As-Shiddiq dua hal itu ada rumusnya:”jika Pasar mengalahkan Masjid, maka Masjid MATI. Jika Masjid megalahkan Pasar, maka pasar HIDUP.” Istilah Masjid dan Pasar sejatinya tak cuma mewakili tempat, namun juga nilai Peradaban, Ekonomi Pasar vs Ekonomi Masjid.
              Merujuk pada pengelolaan Masjid Jogoariyan yang menjadi contoh dalam tulisan ini, yang disebut Manajemen Masjid, ada 3 langkah: Pemetaan, pelayanan, pemberdayaan:
            Pemetaan, artinya Masjid harus memiliki peta dakwah yang nyata, dan jumaah yang terdata. pendataan yangdilakukan masjid terhadap jamaah mencakup potensi dan kebutuhanya; pelluang dan tantangan; kekuatan dan kelemahan.
            H.M Jazir ASP di Jogokariyan menginisiasi sensus Masjid: pendataan tahunan yang hasilnya menjadi data base dan peta dakwah komprehensif. Tak Cuma mencakup nama KK dan warga, pendapatan, pendidikan, dn lain sebagainya melainkan sampai pada siapa saja yang shalat dan yang belum; yang berjamaah di Masjid dan yang tidak; yang sudah atau belum berkurban dan berzakat di Baitul Maal Masjid Jogokariyan; yang aktif mengikuti kegiatan Masjid atau belum; yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja dimana. Detail sekali.
            Dari data base Masjid Jogokariyan kita bisa tahu; dari 1030 KK 94000-an penduduk), yang belum shalat tahun 2010 ada 17 orang. Lalu dibandingkan dengan data 2000, warga Jogokariyan yang belum shalat ada 127 orang. Dari sini, perkembangan dakwah 10 tahun terlihat.
            Peta dakwah Jogokariyan memperlihatkan gambar kampung yang rumahnya warna-warni; hijau, hijau muda, kuning, hingga merah. Di tiap rumah ada juga atribut ikonik: ka’bah (sudah berhaji), unta (sudah berkurban), koin (sudah berzakat), peci, dsb. Konfigurasi rumah sekampung itu dipakai tuk mengarahkan para dai yang mencari rumah. Saya misalnya ditempatkan di Barat Daya Jogokariyan. Data potensi jamaah dimanfaatkan sebaik-baiknya; segala kebutuhan Masjid Jogokariyan yang bisa disediakan jamaah disorder dari mereka.
            Masjid Jogokariyan juga berkomitmen untuk membuat unit usaha agar tak menyakiti jamaah yang memiliki bisnis serupa. Ini harus dijaga. Misalnya tiap pekan Masjid Jogokariyan terima ratusan tamu. Konsumsi tuk mereka diorderkan gilir pada jamaah yang punya makan.
            Data jamaah digunakan tuk gerakan subhu berjamaah. Pada tahun 2004 dibuat undangan cetak layaknya pernikahan tuk itu: by name. UNDANGAN:”mengharapkan kehadiran bapak/ibu/ saudara…. Dalam acar shalat subhu berjamaah. Besok pukul 04.15 WIB di Masjid Jogokariyan.”Undangan itu dilengkapi dengan hadis-hadis keutamaan shalat subhu. Hasilnya? Silahkan mampir di Masjid Jogokariyan untuk merasakan subhu sepertiga jumatan.
            Sistem keuanngan Masjid Jogokariyan juga berbeda dari lain. Jika ada masjid mengumumkan dengan bangga bahwa saldo infaknya jutaan. Jogokariyan selalu berupaya kera agar ditiap pengumuman, saldo infak harus sama dengan NOL! Infak itu ditunggu pahalanya tuk jadi amal shalih, bukan tuk disimpan di rekening bank.
            Pengumuman jutaan akan sangat menyakitkan, jika tetangga masjid ada yang tidak bisa ke RS sebab tak punya biaya atau tak bisa sekolah. Masjid yang menyakiti jamaah adala tragedi dakwah. Dengan pengumuman  saldo infak sama dengan NOL, jamah lebih semangat mengamanahkkan hartanya. Kalau saldo jutaan, ya maaf.
            Masjid Jogokariyan pada tahun 2005 juga menginisiasi gerakan jamaah mandiri. Jumlah biaya setahun dihitung dibagi 52; ketemu biaya pekanan, dibagi lagi dengan kapasitas masjid; ketemu biaya per-tempat shalat. Lalu disosialisasikan. Jamaah diberitahu bahwa jika dalam seppekan  mereka berinfak segitu, maka dia jamaah mendiri. Jika lebih, maka dia jamaah pensubsidi. Jika kurang maka dia jamaah disubsidi. Sosialisasi ditutup kalimat:”doakan kami tetap mampu melayani ibadah anda sebaik-baiknya.”
            Gerakan jamaah mandiri sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%. Ternyata orang malu jika ibadah saja disubsidi. Demikianlah jika peta, data, dan pertanggung jawaban keungan transparan (infak Rp.1000 pun kita pun tahu kemana alirannya) tanpa diminta pun jamaah akan berpartisipasi.  Tiap kali renovasi, masjid Jogokariyan berupaya tidak membebani jamaah dengan proposal. Takmir hanya pasang spanduk,”mohon maaf ibadah anda terganngu, masjid Jogokariyan sedang kami renovasi,” nomor rekening tertera di bawah.
            Satu kisah lagi tuk menunjukkan pentingnya data dan dokumentasi. Masjid Jogokariyan punya foto pembangunan di tahun 1967. Gambarnya: seorang bapak sepuh berpeci hitam, berbaju batik, dan bersarung sdang mengawasi tukang mengaduk semen tuk Masjid Jogokariyan. Di tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan renovasi besar-besaran; foto itu dibawa kepada putara si kakek dalmam gambar, seorang juragan kayu.
            Dikatakan padanya,”ini gambar ayahanda bapak ketika membagun Masjid Jogokariyan, kini masjid sudah tak ampu lagi menampunga jamaah kami bermaksud merenovasi masjid; jika berkenan tuk melanjutkan amal jariyah beliau, kami tunggu partisipasinya di Jogokariyan.” Alhamdulillah foto tahun 1967 itu membuat yang bersangkutan menyumbang Rp. 1 Miliar dan mau menjadi Ketua Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan, sampai sekarang.

0 comments:

Post a Comment

 
;