Datanya negeri ini memiliki lebih dari 1 juta masjid; besar dan kecil.
Berapa yang jadi beban dibandingkan diberdayakan. Ratusan masjid membebani
jamaah tuk listrik, air, dan kebersihan padahal pemanfaatannya hanya shalat dan
tak pernah penuh. Asset masjid berupa jutaan m2 tanah dan bangunan dinilai dari
aspekmanapun; spiritual, sosial, dan ekonomi sangat tidak produktif. Padahal,
soal masjid adalah ideologi sekaligus subtansi peradaban islam. Lawannya:
ideologia dan subtansi peradaban pasar..
Sebaik-naiknya tempat
dimuka bumi ini yang dicintai Allah adalah Masjid. Seburuk-buruknya ialah
pasar. Sebagaimana pendapat Abu bakar As-Shiddiq dua hal itu ada rumusnya:”jika
Pasar mengalahkan Masjid, maka Masjid MATI. Jika Masjid megalahkan Pasar, maka
pasar HIDUP.” Istilah Masjid dan Pasar sejatinya tak cuma mewakili tempat,
namun juga nilai Peradaban, Ekonomi Pasar vs Ekonomi Masjid.
Merujuk pada pengelolaan Masjid Jogoariyan yang menjadi contoh dalam tulisan ini, yang disebut Manajemen
Masjid, ada 3 langkah: Pemetaan, pelayanan, pemberdayaan:
Pemetaan, artinya Masjid
harus memiliki peta dakwah yang nyata, dan jumaah yang terdata. pendataan
yangdilakukan masjid terhadap jamaah mencakup potensi dan kebutuhanya; pelluang
dan tantangan; kekuatan dan kelemahan.
H.M Jazir ASP di Jogokariyan menginisiasi sensus Masjid: pendataan
tahunan yang hasilnya menjadi data base dan peta dakwah komprehensif. Tak Cuma
mencakup nama KK dan warga, pendapatan, pendidikan, dn lain sebagainya
melainkan sampai pada siapa saja yang shalat dan yang belum; yang berjamaah di Masjid
dan yang tidak; yang sudah atau belum berkurban dan berzakat di Baitul Maal
Masjid Jogokariyan; yang aktif mengikuti kegiatan Masjid atau belum; yang
berkemampuan di bidang apa dan bekerja dimana. Detail sekali.
Dari data base Masjid
Jogokariyan kita bisa tahu; dari 1030 KK 94000-an penduduk), yang belum shalat
tahun 2010 ada 17 orang. Lalu dibandingkan dengan data 2000, warga Jogokariyan
yang belum shalat ada 127 orang. Dari sini, perkembangan dakwah 10 tahun
terlihat.
Peta dakwah Jogokariyan
memperlihatkan gambar kampung yang rumahnya warna-warni; hijau, hijau muda,
kuning, hingga merah. Di tiap rumah ada juga atribut ikonik: ka’bah (sudah
berhaji), unta (sudah berkurban), koin (sudah berzakat), peci, dsb. Konfigurasi
rumah sekampung itu dipakai tuk mengarahkan para dai yang mencari rumah. Saya
misalnya ditempatkan di Barat Daya Jogokariyan. Data potensi jamaah
dimanfaatkan sebaik-baiknya; segala kebutuhan Masjid Jogokariyan yang bisa
disediakan jamaah disorder dari mereka.
Masjid Jogokariyan juga
berkomitmen untuk membuat unit usaha agar tak menyakiti jamaah yang memiliki
bisnis serupa. Ini harus dijaga. Misalnya tiap pekan Masjid Jogokariyan terima
ratusan tamu. Konsumsi tuk mereka diorderkan gilir pada jamaah yang punya
makan.
Data jamaah digunakan
tuk gerakan subhu berjamaah. Pada tahun 2004 dibuat undangan cetak layaknya
pernikahan tuk itu: by name. UNDANGAN:”mengharapkan kehadiran bapak/ibu/
saudara…. Dalam acar shalat subhu berjamaah. Besok pukul 04.15 WIB di Masjid
Jogokariyan.”Undangan itu dilengkapi dengan hadis-hadis keutamaan shalat subhu.
Hasilnya? Silahkan mampir di Masjid Jogokariyan untuk merasakan subhu sepertiga
jumatan.
Sistem keuanngan Masjid
Jogokariyan juga berbeda dari lain. Jika ada masjid mengumumkan dengan bangga
bahwa saldo infaknya jutaan. Jogokariyan selalu berupaya kera agar ditiap
pengumuman, saldo infak harus sama dengan NOL! Infak itu ditunggu pahalanya tuk
jadi amal shalih, bukan tuk disimpan di rekening bank.
Pengumuman jutaan akan
sangat menyakitkan, jika tetangga masjid ada yang tidak bisa ke RS sebab tak
punya biaya atau tak bisa sekolah. Masjid yang menyakiti jamaah adala tragedi
dakwah. Dengan pengumuman saldo infak
sama dengan NOL, jamah lebih semangat mengamanahkkan hartanya. Kalau saldo
jutaan, ya maaf.
Masjid Jogokariyan pada
tahun 2005 juga menginisiasi gerakan jamaah mandiri. Jumlah biaya setahun
dihitung dibagi 52; ketemu biaya pekanan, dibagi lagi dengan kapasitas masjid;
ketemu biaya per-tempat shalat. Lalu disosialisasikan. Jamaah diberitahu bahwa
jika dalam seppekan mereka berinfak
segitu, maka dia jamaah mendiri. Jika lebih, maka dia jamaah pensubsidi. Jika kurang
maka dia jamaah disubsidi. Sosialisasi ditutup kalimat:”doakan kami tetap mampu
melayani ibadah anda sebaik-baiknya.”
Gerakan jamaah mandiri
sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%. Ternyata orang
malu jika ibadah saja disubsidi. Demikianlah jika peta, data, dan pertanggung
jawaban keungan transparan (infak Rp.1000 pun kita pun tahu kemana alirannya)
tanpa diminta pun jamaah akan berpartisipasi.
Tiap kali renovasi, masjid Jogokariyan berupaya tidak membebani jamaah
dengan proposal. Takmir hanya pasang spanduk,”mohon maaf ibadah anda terganngu,
masjid Jogokariyan sedang kami renovasi,” nomor rekening tertera di bawah.
Satu kisah lagi tuk
menunjukkan pentingnya data dan dokumentasi. Masjid Jogokariyan punya foto
pembangunan di tahun 1967. Gambarnya: seorang bapak sepuh berpeci hitam,
berbaju batik, dan bersarung sdang mengawasi tukang mengaduk semen tuk Masjid
Jogokariyan. Di tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan renovasi besar-besaran; foto
itu dibawa kepada putara si kakek dalmam gambar, seorang juragan kayu.
Dikatakan padanya,”ini
gambar ayahanda bapak ketika membagun Masjid Jogokariyan, kini masjid sudah tak
ampu lagi menampunga jamaah kami bermaksud merenovasi masjid; jika berkenan tuk
melanjutkan amal jariyah beliau, kami tunggu partisipasinya di Jogokariyan.”
Alhamdulillah foto tahun 1967 itu membuat yang bersangkutan menyumbang Rp. 1
Miliar dan mau menjadi Ketua Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan, sampai
sekarang.
0 comments:
Post a Comment