Friday, 22 February 2013

Umar Bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah pada tahun 99-102H/717-720M)

"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al Qur'an)". Al Qur'an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk segala ummat". (QS. Al-An'aam: 90).

Tugas negara adalah mengubah teori menjadi kenyataan, mengubah norma menjadi undang-undang, dan memindahkan keindahan etika menjadi praktek sehari-hari. (Yusuf Qardhawi)

Nama dan Nasab
             Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushoi bin Kilab, al-Qurosyi al-Madani. Ayah beliau yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang yang pernah menjabat pemimpin di salah satu wilayah kota Mesir dan di sana pulalah beliau lahir, sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khoththob رضي الله عنه.
          Beliau adalah seorang yang berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda.Dan di masa mudanya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan, sehingga ia telah hafal al-Qur'an di masa kecilnya lalu beliau meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakiikan rihlah (perjalanan jauh) dalam tholabul ilmi (menuntut ilmu). Maka berangkatlah ia ke Madinah, kota yang dahulu ditinggali Rosululloh صلي الله عليه وسلم. Di sana beliau duduk belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Madinah. Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Alloh عزّوجلّ menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agamanya. Setelah ayahanda meninggal dunia beliau diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.
               Garis nasab beliau sebenarnya tidak berjalur darah kekhilafahan, karena beliau adalah putra dari Abdul Aziz bin Marwan sedang jalur kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Kepemimpinan beliau sangat mirip dengan kepemimpinan sahabat mulia Abu Bakr ash-Shiddiq رضي الله عنه, karena beliau hanya memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan, namun beliau mampu mengembalikan kejayaan Islam setelah sebelumnya terpuruk dan terkalahkan oleh kezaliman para penguasa.
               
Awal Mula Kepemimpinan Beliau
           Dari Roja' bin Haiwah رحمه الله ia berkata, "Pada hari Jum'at, kholifah kaum muslimin pada waktu itu yaitu Sulaiman bin Abdul Malik mengenakan pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata, 'Sungguh demi Alloh عزّوجلّ aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.'". Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku (Roja' bin Haiwah) katakan, 'Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang kholifah kelak di alam kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang sholih.' Lalu beliau menjawab, 'Sesungguhnya aku telah menulis surat wasiat setelah beristikhoroh kepada Alloh عزّوجلّ perihal penggantiku kelak.' Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, 'Menurutmu bagaimana dengan Dawud bin Sulaiman?' Aku katakan, 'Beliau saat ini sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.' Beliau melanjutkan, 'Wahai Roja', kalau begitu siapa orang yang pantas menjadi penggantiku?' Aku katakan, 'Itu berada pada keputusanmu, aku hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.' Kholifah mengatakan, 'Bagimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?' Aku katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan memiliki keutamaan.' Lalu beliau menandaskan, 'Kalau begitu aku akan tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.' Maka aku katakan, 'Kalau begitu, tetapkan saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu akan membawa kepada keridhoan mereka.' Kemudian kholifah Sulaiman bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.’
               Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, "Seusai Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan (hewan tunggangan, Red.), lalu ia bertanya, 'Suara apa itu?' Lalu dijawab, 'Itu adalah suara kendaraannya kholifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya agar engkau menaikinya.' Ia menjawab, 'Siapa aku ... aku tidak pantas menaikinya ... jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.' Lalu aku dekatkan keledainya lalu beliau menaikinya.
        Kemudian datang pengawal kholifah di depan beliau dengan membawa tombak, lalu beliau mengatakan, 'Menjauhlah kalian dariku, siapa aku ... aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.' Lalu beliau berjalan dan manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, 'Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini (kepemimpinan, Red.), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai'at kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi pemimpin kalian.' Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya mengatakan, 'Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini semoga Alloh عزّوجلّ memberkahimu.' Maka tatkala semua suara telah mereda dan semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji Alloh عزّوجلّ, menyanjung-Nya, dan bersholawat kepada Nabi صلي الله عليه وسلم, lalu mengatakan, 'Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa kepada Alloh عزّوجلّ karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal untuk akhiratnya maka Alloh عزّوجلّ akan mencukupkan urusan dunianya .... Wahai sekalian manusia, kepada (pemimpin) yang taat kepada Alloh عزّوجلّ maka kalian wajib menaatinya dan kepada (pemimpin) yang bermaksiat kepada-Nya maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati Alloh عزّوجلّ dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian menaatiku.'"

Karakteristik Kepribadian
a. Rasa takut yang tinggi kepada Allah
                Hal yang menjadikan Umar bin Abdul Aziz begitu fenomenal bukanlah karena banyaknya shalat dan puasa yang dikerjakan, tetapi karena rasa takut yang tinggi kepada Allah dan kerinduan akan surga-Nya. Itulah yang mendorong beliau menjadi pribadi yang berprestasi dalam segala aspek; ilmu dan amal. Dikisahkan pada suatu hari si Umar kecil menangis tersedu dan hal itu terdengar oleh ibunya. Lantas ditanyakan apa sebabnya. Beliau pun menjawab: "Aku teringat mati". Maka sang ibu pun menangis dibuatnya.
                Pernah seorang laki-laki mengunjungi Umar bin Abdul Aziz yang sedang memegang lentera. "Berilah aku petuah!", Umar
membuka perbincangan. Laki-laki itu pun berujar: "Wahai Amirul Mukminin!! Jika engkau masuk neraka, orang yang masuk surga tidaklah mungkin bisa memberimu manfaat. Sebaliknya jika engkau masuk surga, orang yang masuk neraka juga tidaklah mungkin bisa membahayakanmu". Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun menangis tersedu sehingga lentera yang ada di genggamannya padam karena derasnya air mata yang membasahi.
b. Wara'.
                Di antara bentuk nyata sikap Wara' yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz adalah keenganan beliau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi, meskipun hanya sekedar mencium bau aroma minyak wangi. Hal itu pernah ditanyakan oleh pembantunya, "Wahai khalifah! Bukankah itu hanya sekedar bau aroma saja, tidak lebih?". Beliau pun menjawab: "Bukankah minyak wangi itu diambil manfaatnya karena bau aromanya?"
                Dikisahkan suatu hari Umar bin Abdul Aziz pernah mengidam-idamkan buah apel. Tiba-tiba salah seorang kerabatnya datang berkunjung seraya menghadiahi sekantong buah apel kepada beliau. Lalu ada seseorang yang berujar: "Wahai Amirul Mukminin Bukankah Nabi r dulu pernah menerima hadiah dan tidak menerima sedekah?". Serta merta beliau pun menimpali, "Hadiah di zaman Nabi r benar-benar murni hadiah, tapi di zaman kita sekarang ini hadiah berarti suap".
c. Zuhud.
                Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang sangat zuhud, bahkan kezuhudan yang dimilikinya tidaklah mungkin bisa dicapai oleh siapa pun setelahnya. Kezuhudan yang mencapai level tertinggi di saat 'puncak dunia' berada di genggamannya. Malik bin Dinar pernah berkata: "Orang-orang berkomentar mengenaiku, "Malik bin Dinar adalah orang zuhud." Padahal yang pantas dikatakan orang zuhud hanyalah Umar bin Abdul Aziz. Dunia mendatanginya namun ditinggalkannya".
                Pernahkan terbetik di benak kita seorang kepala negara ketika berkeinginan menunaikan ibadah haji, ia tidak bisa berangkat hanya karena uang perbekalannya tidak cukup? Pernahkah terlintas di bayangan kita seorang bangsawan yang hanya memiliki satu buah baju, itu pun berkain kasar? Si zuhud Umar bin Abdul Aziz pernah mengalaminya!
d. Tawadhu'
                Keluhuran budi pekerti yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz sangatlah tinggi. Hal itu tercermin dari sekian banyaknya karakteristik yang menonjol pada diri beliau. Di antaranya adalah sikap Tawadhu'nya. Suatu hari ada seorang laki-laki memanggil beliau, "Wahai khalifah Allah di bumi!" Maka beliau pun berkata kepadanya:
"Ketika aku dilahirkan keluargaku memberiku nama Umar. Lalu ketika aku beranjak dewasa aku sering dipanggil dengan sebutan Abu Hafs. Kemudian ketika aku diangkat menjadi kepala negara aku diberi gelar Amirul Mukminin. Seandainya engkau memanggilku dengan nama, sebutan atau gelar tersebut aku pasti menjawabnya. Adapun sebutan yang barusan engkau berikan, aku tidaklah pantas menyandangnya. Sebutan itu hanya pantas diberikan kepada Nabi Daud u dan orang yang semisalnya", seraya membacakan firman Allah, Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi". (QS. Shad: 26).
                Namun, ada yang lebih mengagumkan lagi! Kisah yang mencerminkan sikap Tawadhu' yang dimilikinya; Kisah Umar bin Abdul Aziz dengan seorang pembantunya. Pernah suatu saat Umar bin Abdul Aziz meminta seorang pembantunya untuk mengipasinya. Maka dengan penuh cekatan
sang pembantu segera mengambil kipas, lalu menggerak-gerakkannya. Semenit, dua menit waktu berlalu, hingga akhirnya Umar bin Abdul Aziz pun tertidur. Namun, tanpa disadari ternyata si pembantu juga ikut ketiduran. Waktu terus berlalu, tiba-tiba Umar bin Abdul Aziz terbangun. Ia mendapati pembantunya tengah tertidur pulas dengan wajah memerah dan peluh keringat membasahi badan disebabkan panasnya cuaca. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun mengambil kipas, lalu membolak-balikkannya mengipasi si pembantu. Dan sang pembantu itu pun akhirnya terbangun juga, begitu membuka mata ia mendapati sang majikan tengah mengipasinya tanpa rasa sungkan dan canggung. Maka dengan gerak reflek yang dimilikinya ia menaruh tangan di kepala seraya berseru karena malu. Lalu Umar bin Abdul Aziz pun berkata menenangkannya: "Engkau ini manusia sepertiku! Engkau merasakan panas sebagaimana aku juga merasakannya. Aku hanya ingin membuatmu nyaman -dengan kipas ini- sebagaimana engkau membuatku nyaman".
e. Adil.
                Di antara sekian karakteristik yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz, adil adalah sikap yang paling menonjol. Sikap itulah yang menjadikan nama beliau begitu familiar di telinga generasi setelahnya hingga hari ini. Keadilannya selalu digaungkan oleh para pencari keadilan, entah karena betul-betul ingin menapaktilasi jejaknya ataukah hanya sekedar kamuflase belaka. Yang terpenting adalah nama besarnya telah mendapat tempat di hati para penerus perjuangannya. Dan nama itu terukir indah dengan tinta emas di deretan para pemimpin yang adil, para pemimpin yang terbimbimg oleh kesucian wahyu; Al Qur'an dan Sunnah, para pemimpin yang dijuluki al-Khulafa' ar-Rasyidun. Dan sejarah Islamlah pengukirnya.
                Al-Ajurri menceritakan sikap adil yang dimilikinya, beliau berujar: "Seorang laki-laki Dzimmi dari penduduk Himsh pernah mendatangi Umar bin Abdul Aziz seraya mengadu: "Hai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah". "Apa yang engkau maksud?", sergah Umar bin Abdul Aziz. "Abbas bin Walid bin Abdul Malik telah merampas tanahku", lanjutnya -saat itu Abbas sedang duduk di samping Umar bin Abdul Aziz-. Maka Umar bin Abdul Aziz pun menanyakan hal itu kepada Abbas, "Apa komentarmu?". "Aku terpaksa melakukan itu karena mendapat perintah langsung dari ayahku; Walid bin Abdul Malik", sahut Abbas membela diri. Lalu Umar pun balik bertanya kepada si Dzimmi, "Apa komentarmu?". "Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin diberi keputusan dengan hukum Allah", ulang si Dzimmi. Serta merta Umar bin Abdul Aziz pun berkata: “Hukum Allah lebih berhak untuk ditegakkan dari pada hukum Walid bin Abdul Malik”, seraya memerintahkan Abbas untuk mengembalikan tanah yang telah dirampasnya.
                Kisah di atas hanyalah satu dari sekian puluh bahkan ratus sikap adil yang dimiliki Umar bin Abdul Aziz. Kisah tentang keadilannya begitu mudah di dapati di buku-buku sejarah yang menulis biografinya. Kisah yang memenuhi lembar demi lembar buku para sejarawan. Sungguh sebuah kisah, siapa pun pembacanya pasti akan menggeleng-gelengkan kepala tanda takjub sambil menyunggingkan rasa masygul tanpa ragu, diiringi air mata bahagia yang turut mengharukan suasana.

Wafatnya Beliau
            Beliau meninggal dunia di Dir Sam'an sebuah kota di Hims, pada tanggal 20 Rojab 101 H. Tatkala itu beliau baru berumur 39 tahun 6 bulan. Beliau meninggal dunia karena diberi racun oleh Bani Umayyah yang jemu dengan beliau sebab beliau sangat mempersempit keinginan mereka dan mengadili harta yang mereka ambil dan hal itu membuat murka mereka, sedang beliau tidak terlalu memperketat penjagaan dirinya.
            Mujahid menceritakan: "Umar bin Abdul Aziz telah berkata kepadaku, 'Apa yang manusia katakan tentang diriku?' Aku katakan, 'Mereka menyangka engkau terkena sihir.' Beliau menjawab, 'Sungguh aku tidak terkena sihir, dan aku masih ingat pada waktu itu tatkala aku diberi minuman yang telah dibubuhi racun yang dibawa oleh budakku, maka kupanggil budakku tersebut lalu kukatakan kepadanya, 'Celaka kamu, apa yang mendorongmu sehingga engkau memberiku minuman yang dibubuhi racun?' Budak itu menjawab, 'Upah 1.000 dinar dan janji bahwa aku akan dimerdekakan.'" Lalu Umar bin Abdul Aziz berkata, "Mana uang tersebut?" Lalu budak itu mengambilnya kemudian beliau mengambil uang tersebut dan memberikannya kepada baitul mal seraya mengatakan, "Sekarang pergilah anda dan jangan ada seorang pun yang melihatmu."
Akhirnya, beliau meninggal dunia dengan meninggalkan 11 anak, dan harta yang beliau tinggalkan hanya sebanyak 17 dinar, beliau dikafani dengan kain kafan seharga 5 dinar, dan tanah tempat ia dikubur dibeli dengan harga 2 dinar sedangkan sisanya dibagikan kepada anak-anaknya sehingga masing-masing hanya mendapatkan harta warisan dari sang kholifah kaum muslimin sebanyak 19 dirham.
                Keberhasilan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat inilah yang membuat Umar bin Abdul Aziz tidak hanya layak disebut sebagai pemimpin negara, tetapi juga sebagai fiskalis muslim yang mampu merumuskan, mengelola, dan mengeksekusi kebijakan fiskal pada masa kekhalifahannya. Barangkali, istilah fiskal memang belum dikenal pada masa itu karena istilah ini baru digunakan pada abad 20 sebagai respon sistem ekonomi kapitalis atas depresiasi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930. Hal ini dapat dilihat dari pengelolaan penerimaan negara yang meliputi pajak, zakat, khums (bagian seperlima), dan distribusi pengeluaran negara yang meliputi belanja pegawai, belanja peralatan administrasi negara, pendidikan, dan distribusi zakat. Dia tidak wafat, kecuali setelah membuat seluruh rakyatnya kaya.” (Abdullah bin Abdul Hakam dalam Biogafi Umar bin Abdul Aziz, alih bahasa, Habiburrahman Syaerozie, hal. 88-89).

Maroji:
Majalah Al-Furqon No.114 Ed 11 Th. Ke-10_1432 H
Www.Ibnumajjah.Wordpress.Com.
Wildan Alfian Noor(Alumni PPSDMS Angkatan 3, Regional III Yogyakarta dan Presidium Nasional FoSSEI 2007-2008),Umar bin Abdul Aziz, Sang Fiskalis Muslim.
Ridho Abdillah,Perbedaan Itu Indah:Umar Bin Abdul Aziz Sang teladan,Fakultas Dakwah dan Ushuluddin UIM,( http://sofyan.student.umm.ac.id/umar-bin-abdul-aziz-sang-teladan/)

0 comments:

Post a Comment

 
;