Buku ini terdiri atas 73 bagian cerita bertema ‘SERIAL CINTA’ yang menyuguhkan tema-tema cinta diluar dari frame yang selama ini ada
dalam benak masyarakat. Serial cinta pada buku ini bukan sinetron atau romantika ala telenovela
dan tidak lebay ala bollywood. Yang
dimaksud serial cinta pada buku ini ialah bagaimana memandang sisi romatis dan
melankolis pada tiap perjuangan hidup, bagaimana cinta Allah, Rasul dan Nabi
Allah, cinta keluarga serta bagaimana cinta memberikan semangat yang
berlipat-lipat bagi anak manusia, entah berlipat semangatnya dalam mengejar
impian ataupun beribadah. Boleh saya katakan buku ini membatu kita menterjemahkan makna CINTA walau tak ada pengertian yang baku untuk menterjemahkan kata CINTA. Untuk dapat melihat bagaimana nuansa buku ini, amri simak berapa potongan tulisan di dalamnya yang menarik untuk disimak:
Kalau saja aku adalah Muhammad”, kata iqbal, “aku
takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di sidratul muntaha.” Iqbal
barangkali mewakili perasaan kita semua: pesona keteduhan di haribaan Allah, di
puncak langit ke tujuh, di sidartul muntaha, terlalu menggoda untuk
ditinggalkan, apalagi untuk sebuah kehidupan penuh darah dan air mata di muka
bumi. Dua kehidupan yang tidak dapat diperbandingkan.
Logika pembaca (saya): Mari kita ingat kembali dengan kisah Nabi Idris as. dan malaikat Izral yang mengelilingi melihat kondisi akhirat baik surga dan neraka, betapa mempesonanya surga itu, ketika sandal Nabi Idris as. tertinggal di surga dan masuk kembali mengambil sandalnya hingga Nabi Idris tak ingin kembali ke dunia. Bagaimana cinta Rasulullah terhadap umatnya ketika kesempatan Isra' Mi'raj itu datang dan surga itu terlalu menggoda.
Di hadapannya
istrinya terduduk. Diam. Hening. Hanya tatapan mata yang saling bicara. Tekad
memancar tegas setegas pekat hitam kedua bola matanya. “Kini tiba giliranmu,
isteriku,” Umar bin Abdul Aziz membuka pembicaraan. “Perbaikan dan reformasi
dinasti bani umayyah sudah kumulai dari diriku sendiri. Selanjutnya adalah
giliranmu. Kemudian anak-anak. Kemudian keluargabesar istana. Sekarang
kembalikan seluruh harta dan perhiasanmmu ke kas Negara.”
Istrinya langsung angkat kepala. “ Tidak Umar!
Ini semua adalah pemberian ayahku, abdul Malik bin marwan.“ Umar terdiam,
sejenak. Lalu menjawab,“tapi uang membeli itu semua berasal dari kas negara, Fatimah!“
dialog itu terus berlangsung, mendatar dan meninggi, antara setuju dan tidak
setuju.
Beberapa saat Umar tertunduk.
Terpekur. Tantangan itu
ternyata ada dihadapannya kini. Dari orang terdekat dan paling ia cintai.
Bisakah ia melanjutkan perjuangannya kalau hambatannya justru datang dari
cinta ? Tidak! Tidak boleh ! Ia harus terus melangkah maju di jalan
terjal perbaikan pemerintanhan. Tiba-tiba Umar bangkit dan berkata, “Fatimah,
sekarang aku sudah bertekad untuk tidak mundur. Dan kamu punya dua pilihan:
kembalikan seluruh harta itu, atau jika tidak, hubungan kita berakhir di sini.“
Fatimah terhenyak. Kesadarannya seperti ditampar tangan kebenaran. Hanya sesaat
kemudian Fatimah mendengarkan panggilan nuraninya. Ia memilih untuk terus
bersama Umar.
Logika pembaca (saya): Inilah wujud cinta yang lain dimana empat elemen yaitu agama, amanah, kesuasaan, dan keluarga harmoni dalam membangun cinta pada Allah SWT. Bagi seorang Umar bin Abdul Aziz dan tentunya para pemimpin, tantangan dan godaaan yang berat ialah muncul dari keluarga sendiri. Untuk membangun harmoni keempat elemen tersebut mengukuhkan internal keluarga terlebih dahulu.
Yang membedakan para pecinta sejati dengan para
pecinta palsu. Kalau kamu mencintai seseorang dengan tulus, ukuran ketulusan
dan kesejatian cintamu adalah apa yang kamu berikan padanya untuk membuat
kehidupannya lebih baik. Maka kamu adalah air. Maka kamu adalah matahari. Ia
tumbuh dan berkembang dari siraman airmu. Ia besar dan berubah dari sinar
cahayamu.
Di garis hakikat ini, cinta adalah cerita tentang
seni menghidupkan kehidupan hidup. Karena itu kehidupan yang mereka bangun
seringkali tidak disadari oleh-orang-orang yang menikmatinya. Tapi begitu sang
pemberi pergi, mereka segera merasakan kehilangan yang menyayat hati, tiba-tiba
ada ruang besar kosong yang tak berpenghuni. Tiba-tiba ada kehidupan yang
hilang tak berpenghuni. Tiba-tiba ada kehidupan yang hilang.
Logika pembaca (saya): dengan cara ini kita akan memahami selepas
meninggalnya sang Nabi mengapa bilal tak kuasa lagi mengumandangkan azan dan
berkali kali mencoba mengumandangkan azan selalu terhenti dan terisak pada
kalimat ‘asyahduanna muhammmadan rasulullah’ hanya dengan mengucapkan namanya
ia terkenang dan semakin tumpah tuah cintanya. Adapun kita dapat lihat betapa
putus asanya dan menggilanya Umar bin Khatab dengan reputasi pribadi yang
terkenal tegas dan keras dapat begitu rapuh seketika tak berdaya setelah
mendengar kematian sang habibi Rasulullah saw. Sekali lagi kita melihat ketika Abu Bakar As-Shiddiq mengetahui isyarat bahwa telah selesai tugas sang
rasulullah tak berbeda reaksinya dengan sahabat lainnya dan saat itu para
sahabat menganggap reaksi Abu Bakar seperti orang aneh, menangis tanpa sebab,
padahal saat itu mereka harusnya bergembira bahwa kemenangan di depan mata.
Pesan Umar: hanya
ada satu dari dua perasaan yang mungkin dirasakan oleh setiap orang pada saat pasangan hidupnya wafat:
merasa bebas dari beban hidup atau merasa kehilangan tempat bergantung.
Tantangan cinta
yang paling rumit ialah waktu. Dalam perjalan waktu, kesejatian cinata teruji.
Dan, ujiannya adalah menjawab pertanyaan sederhana ini: seberapa besar kadar
kebajikan yang terkandung dalam cinta itu? Dalam tamsil ini cinta adalah
kereta: ia berjalan di atas rel kebajikan. Begitu kebajikanmu habis, kereta
cinta juga berhenti berjalan. Hanya ketika kamu menjadi orang baik kamu dapat
mmencintai dengan kuat. Kalau ujian cinta adalah waktu, maka jawabnya adalah
kepribadian.
Ya Rasullullah, pesona kepribadianmu tak lekang oleh waktu. Indahnya sungguh terasa seolah-olah engkau hidup dalam tiap hati muslim walau kami tak punya kesempatan berjumpa denganmu di dunia.