Menceritrakan tokoh utama aku (Alif) setelah lulus dari Pondok Madani, Gontor. Diawali dengan kisah perjuangan seorang anak pesantren memasuki universitas negeri impian. Walau tak lulus di ITB tempat impiannya selama ini, dengan menjadi mahasiswa Unpad jurusan hubungan internasional yang akan mengawali perjuangannya di masa kampus. Mengajarkan ketegaran hati ketika sang ayah meninggal dan mengemban amanah besar untuk membahagiakan ibu dan adiknya, alhasil ia bekerja keras dengan tekad mampu menghidupkan keluarga dan terus melanjutkan kuliahnya. Menjadi sales door to door berbagai kebutuhan ia lakoni hingga mengalami perampokan dan tumbang dengan penyakit tifus. Berbagai keadaan berat yang dialami, akhirnya ia menemukan cara bertahan hidup dan menafkahkan keluarganya ialah dengan keterampilannya menulis hingga ia menjadi kolumnis.
Cita-citanya bersama sohibul menara ialah mengnjungi Amerika. Tibalah ia mengenal program pertukaran pelajar, kita akan disuguhkan dengan perjuangan seorang yang tak berbakat seni yang menjadi syarat utama kebanyakan siswa yang dapat ikut program itu, dengan cara yang berbeda Alif memunculkan gagasan bahwa kebudayaan dan martabat bangsa tak melulu melalui seni tapi bisa pula dengan bakat lain seperti olahraga, pengetahuan, dan tulisan. Tulisan menjadi senjata ampuh baginya meyakinkan para panitia seleksi untuk meloloskanya. Ia pun menyerahkan keliping tulisannya selama ini yang dimuat di koran-koran lokal.
Petualangan tak sebatas itu saja. Kita diajak dengan negeri impian yang belum pernah ditemukan di daerah manapun di indonesia. Negeri impian sesukses di zaman Umar bin Abdul Aziz yaitu Kanada, negara bagian Amerika, dia mendapat tempat untuk belajar di sana tepatnya di kota Quebec, Kanada. Ada berbagai macam hal-hal menakjubkan serta pengalaman yang sangat penting dan mendidik yang berusaha di sampaikan oleh penulis. Bagaimana penduduk disana merasa aman dan sangat taat hukum hingga tiap rumah tak perlu mengunci pintu rumahnya, semua masalah dapat diselesaikan tanpa kekerasan, walau berbeda pendapat tak ada namanya kekerasana bahkan berbeda pendapat menjadi hal yang perlu dihormati.
Perjuangan, petualangan, persahabatan berpadu dengan memaknai bagaimana bersabar, keyakinan penuh, serta usaha lebih diatas rata-rata dengan iringan doa demi menggapai cita-cita. Sekilas tokoh aku terlihat mampu mencapai cita-citanya namun ternyata tidak demikian, ada hal-hal yang tak sesuai harapan, namun tokoh ini tak berlarut dalam kesedihan, ia berusaha mencari jalan keluar terbaik walau hasil tak selamanaya seperti yang diharapankan.
Ranah 3 warna, melintasi Bandung, Amman, dan Saint-Raymond, tiga ranah berbeda warna yang telah ia kelana di masa kuliah dulu. Catatan yang diambil dalam novel ini ialah bagaiman sekolahnya dulu (Pondok Madani Pesantern Modern Gontor) memberikan pendidikan dan persiapan bekal mental para siswanya menghadapi dunia nyata, bukan sekedar skill dan ilmu saja. Akhlak dan mental yang kuat yang menjadi benteng pertahanan Alif dalam tokoh ini ketika musibah datang atau doa tak hadir sesuai harapan. Mari simak tulisan tangan Kiai Rais kepada para alumni PM berbunyi:
Anak-anakku...
Akan tiba masa ketika kalian dihadang badai dalam hidup. Bisa badai diluar dirikalian, bisa badai di dalam diri kalian. Hadapilah dengan tabah dan sabar, jangan lari. Badai pasti berlalu.
Anak-anakku...
Badai paling dasyat dalam sejarah manusia adalah badai jiwa, badai rohani, badai hati. Inilah badai dalam perjalanan menemukan diri yang sejati. Inilah badai yang bisa membongkar dan megempaskan iman, logika, kepercayaan diri, dan tujuan hidup. Akibat badai ini bisa lebih hebat dari badai ragawi. Menangilah badai rohani dengan iman dan sabar, kalian akan menjinakkan dunia dan akhirat.
Anak-anakku...
Bila badai datang. Hadapi dengan iman dan sabar. Laut tenang ada untuk dinikmati dan disyuukuri. Sebaliknya laut badai ad untuk ditaklukkan, bukan ditangisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi?
....
0 comments:
Post a Comment