Aku rasa ia anak yang terluka dan butuh untuk disembuhkan, luka masa kecilnya. Luka yang timbul dari sosok yang paling ia kasihi sekaligus ia benci. Sosok malaikat dengan kasih sayangnya yang menghangatkan dan sewaktu-waktu dapat berubah menakutkan hingga ia sangat merindukan kehangatan malaikat yang pernah ia rasakan sesaat lalu.
Ia begitu ketakutan ketika sosok malaikat itu berubah, amarah menguasai hingga muncul sumpah serapah seperti anak tidak berguna, meyusahkan saja, mati saja, anak setan, dan seturusnyya sumpah serapah yang menyakiti batin seorang anak. Walau hanya ucapan yang muncul tanpa satu aksi kekerasan fisik yang ada. Namun ucapan itu begitu menujam ke dalam hati sanubarinya, hingga Ia merasa sulit bernapas dan hidup. Ungkapan bunuh saja aku, lebih baik aku mati saja, dan sejenisnya itu pernah Ia utarakan.
Ajaibnya, masih ada setitik kehangatan yang Ia rasakan dan ungkapan itu hanya sebuah besitan saja tanpa harus terjadi. Ia tersadar akan cinta yang masih ia rasakan dan berusaha memahami dan memakluminya. Ia berjuang keras agar sang malaikat tak mengeluarkan amarahnya dengan menjadi anak yang baik dan patuh. Ia rela menjadi buruh dan mengorbankan hidupnya, serta menghindari segala macam bentuk komunikasi, karena ia khawatir melukai sang malaikat melalui ucapannya yang dikeluarkan. Ketika Ia mendengarkan sumpah serapah itu lagi, ia akan berusaha meredam amarah dirinya sendirinya.
Saudaraku, terlau banyak pelajari hidup yang kau berikan. Walau aku sendiri tak suka dengan sikapmu itu dan aku rasa itu salah, kan ku hormati keputusanmu. Cintamu mengajarkan untuk selalu memahami dan mengerti, rasakan sedalam-dalamnya cinta walau setitik, dan hapuskanlah semua kepahitan yang memenuhi rangga dada.
Aku rasa itu bukan setitik cinta yang kau alami, saudaraku...itu adalah kumpulan titi-titik cinta yang lebih banyak dibandingkan kepahitan yang memenuhi rongga dadamu
Aku rasa itu bukan setitik cinta yang kau alami, saudaraku...itu adalah kumpulan titi-titik cinta yang lebih banyak dibandingkan kepahitan yang memenuhi rongga dadamu
0 comments:
Post a Comment