Monday, 5 January 2015

SIROH NABAWI: MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUSLIMIN MUHAJIRIN DAN ANSHAR

SIROH NABAWI: MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUSLIMIN MUHAJIRIN DAN ANSHAR

Selain membangun masjid sebagai pusat aktivitas masyarakat, Rasulullah SAW melakukan sebuah tindakan besar yang memiliki pengaruh luar biasa dalam sejarah, yaitu mempersaudarakan (muakhah) kaum Muhajirin dan Anshar. Ibnul Qayyim berkata, “Lalu Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka berjumlah 90 orang lelaki. Separuh dari kalangan Muhajirin dan separuh lagi dari Anshar. Beliau mempersaudarakan mereka agar saling membantu dan saling mewarisi walaupun tak punya hubungan darah. Ini berlangsung hingga Perang Badar.”
 


LATAR BELAKANG
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah, padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan, padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi kaum Muhajirîn di daerah baru. [1]
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 : “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”

TERJALINNYA PERSAUDARAAN
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah Radhiyallahu anhumenceritakan:
“Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Kami tidak memiliki apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: "Siapkanlah makananmu itu! Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!” Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan. Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung –Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]
Bukhari meriwayatkan, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan antara ‘Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’ serta anatara Salman Al Farizi dan Abu Darda yang sangat kita kenal kisah tersebut.
Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Saw., “Bagilah kebun kurma kami untuk diberikan kepada saudara-saudara kami!” Apa jawaban Rasulullah Saw.? “Tidak!” kata beliau. Para sahabat angkat bicara. “Berikan kepada kami bahan pokoknya dan kami dapat bergabung  dengan kalian dalam memanen buahnya.” “Kami dengar dan kami taat!” jawab orang-orang Anshar (HR. Bukhari).
Sepanjang sejarah tidak pernah ditemukan sambutan yang begitu hangat kecuali sambutan sahabat Anshar terhadap Muhajirin. Mereka sangat mencintai Muhajirin, berani berkorban, berperan aktif, dan sanggup menanggung bebannya. Keakraban dan cinta Anshar yang sangat mendalam terhadap Muhajirin, membuat mereka rela mewariskan harta benda mereka. Mereka sangat mengasihi saudaranya, mengorbankan hartanya, bahkan lebih mementingkan saudaranya walaupun mereka sendiri kesusahan (itsar). Sementra kaum Muhajirin menerima dengan sewajarnya, tidak menjadikannya sebagai kesempatan yang berlebih-lebihan.
Sampai-sampai orang-orang Muhajirin sendiri, sebagai pendatang yang mendapatkan segala kebaikan orang Anshar, mengatakan kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendapati seperti kaum yang kami datangi ini (yakni kaum Anshar). Mereka pandai menghibur saat kesulitan dan paling baik berkorban saat bercukupan. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan berbagi kepada kami dalam hal tempat tinggal. Sampai-sampai kami khawatir mereka memborong pahala semuanya.” Rasulullah Saw menjawab, “Tidak (kalian tidak akan kehilangan pahala), selama kalian memuji mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka.”
Persaudaraan yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut. Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.“[al-Anfâl/8 : 75]
Dan firman-Nya : “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” [al-Ahzâb/33 : 6].
Peristiwa penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan. Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.

HIKMAH
Tentang muakhah ini, Ustadz Munir Muhammad Ghadban dalam bukunya Fiqhus-Sirah An-Nabawiyyah memberikan catatan antara lain,[2] “Konsep muakhah yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah yang pertama dalam sejarah kemanusiaan. Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan dan memantau langsung program muakhah ini, tidak mengandalkan orang lain dan tidak hanya memberikan taujih (arahan) dengan kata-kata. Dengan muakhah, maka hiduplah jiwa kasih sayang dan kesiapan berkorban.”
Dengan kedekatan dan persaudaran itu, maka terjadilah proses saling menasihati dan memperbaiki diri masing-masing. Seorang saudara bisa mendapat pengingatan dari saudaranya atau sebaliknya mengingatkan saudaranya jika melihat terjadinya penyimpangan atau kekeliruan. Setiap manusia selalu butuh pihak lain yang memberikan motivasi di saat lesu dalam beramal dan berjuang, atau menenangkan jiwa di kala galau, atau meneguhkan hati agar tetap sabar saat berhadapan dengan segala ujian, rintangan, dan tantangan. Dan, semua itu dapat kita peroleh manakala ada sebuah lingkaran persudaraaan yang erat dan solid yang setiap orang bertanggung jawab tentang kondisi saudaranya.
Muakhah yang dilakukan Rasulullah Saw. paling tidak mempunyai tujuan-tujuan berikut:[3]
1.    Untuk menghilangkan rasa keterasingan dan kesendirian dalam hati para Muhajirin dengan keberadaan mereka di negeri orang. Sementara mereka hadir di negeri itu dengan meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan sanak famili. 
2.    Untuk merealisasikan atau mewujudkan nilai-nilai al-wala (kesetiaan) dan al-bara (pemutusan hubungan kesetiaan atau berlepas diri). 
3.  Setia dan cinta kepada orang-orang beriman dan menolak kepatuhan dalam kemaksiatan dan kemungkaran.
4.  Menanamkan ruh senasib sepenanggungan, saling meringankan beban, dan saling berempati kepada sesama. 
5.   Muakhah juga dimaksudkan untuk menjadi solusi bagi persoalan ekonomi kaum Muhajirin. Mereka datang hanya membawa keiman dan kecintaan kepada Allah serta Rasul-Nya. Sedangkan harta, bisnis, ladang, dan ternak mereka tinggalkan di Mekkah. 
6.    Muakhah merupakan sarana teramat penting bagi upaya konsolidasi umat Rasulullah Saw. dengan segala potensi dan kekuatannya. Ini adalah upaya Rasulullah Saw. untuk memastikan bahwa orang-orang beriman benar-benar bagaikan satu tubuh atau satu bangunan. Wallahu’alam
Dalam sistem muakhkhah ini nabi Muhammad SAW mempersaudarakan 90 orang, dimana 45 orang dari kaum Muhajirin dan 45 orang lainya berasal dari kaum Anshar. Dari sumber lain nabi Muhammad mempersaudarakan 150 dari kaum Muhajirin dan 50 orang dari kaum Anshar. Beberapa orang yang dipersaudarakan nabi Muhammad SAW adalah:
1.        Nabi Muhammad sendiri dengan Ali bin Abi Thalib.
2.        Abu bakar Ash-Shidiq dengan Kharizah bin Zaid bin Abu Zuhair Al-Ansari.
3.        Ummar bin Khatab dengan Utbah bin Malik Al-Anshari.
4.        Ja’far bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal Al-Anshari.
5.        Hamzah bin Abdul Muththalib dengan Zaid bin Haritsah.
6.        Abu Ubaidah bin Al-jarrah dengan Sa’d bin Mu’adz.
7.        Abdur Rahman bin Auf dengan Sa’ad bin Ar-rabi’.
8.        Az-Zubbair bin Al-Awwam dengan Salamah bin Salamah.
9.        Thalhah bin Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik.
10.      Utsman bin Affan dengan Aus bin Tsabit.
11.      Sa’id bin Zaid dengan Ubay bin Ka’ab.
12.      Mush’ab bin Ummair dengan Abu Ayyub.
13.      Abu Huzaifah dengan Abbad bin Bisyr.
14.      Ammar bin Yassir dengan Hudzaifah dengan Al-Yaman.
15.      Hathib bin Abu Balta’ah dengan Uwaim bin Sa’idah.
16.      Salman Al-Farisi dengan Abu Darda’.
17.      Abu Dzarr Al-Ghifari dengan Al-Muddzir bin ‘Amr.
18.      Abu Sabrah bin Abu Rahm dengan salamah bin Waqsy.
19.      Khabbab bin Al-Arat dengan Tamim, maula Kharasy.
20.      Safwan bin Wahb dengan Rabi’ Al-Ajlan.
21.      Shuhaib bin Sinan dengan Al-Harits bin Ash-Shamah.
22.      Abdullah bin Akhrammah dengan Farwah bin Amr.
23.      Mas’ud bin Rabi’ah dengan Ubaid bin At-thihan.
24.      Ma’war bin Al-Harits dengan Mu’adz bin Arfa’.
25.      Waqid bin Abdullah bin Abdu Hanaf dengan Bisyr bin Al-Barra’.
26.      Zaid bin Al-Khatthab dengan Ma’an bin Adi.
27.      Al-Arqam bin Abul Arqam dengan Thalhah bin Zaid.

Setelah adanya sistem Mukhkhah ini kaum Muhajirin merasa senang karena kaum  Anshar sangat berbaik hati dengan mencukupi kebutuhan sehari hari dan memberikan pekerjaan kepada kaum Muhajirin, namun kaum Muhajirin merasa cemas dan khawatir jika kaum Anshar akan mengangkut semua pahala. Mendengar hal ini Nabi langsung merespon bahwasanya pikiran itu tidak benar dan sesungguhnya jika kaum Muhajirin memuji dan mendoakan kaum Anshar maka kaum Muhajirin juga akan mendapatkan pahala.
Atas kebaikan kaum Anshar ini, nabi Muahammad menyuruh kaum Muhajirin untuk memberikan pujian dan mendoakan kaum Anshar. Selain mendapat pujian dari nabi Muhammad dan kaum Muhajirin, Allah juga memberikan pujian terhadap kaum Anshar, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Hasyr ayat 9 :
Saling mewarisi atas dasar persaudaraan agama ini dilakukan sebelum perang badar, namun setelah perang badar saling mewarisi harta atas dasar persaudaraan agama ini tidak berlaku lagi. Dan yang berlaku adalah sitem saling mewarisi atas dasar hubungan kekerabatan. Hal ini dikarenakan turunya ayat Allah yang menasakh hukum sebelumnya. Adapun ayat tersebut ialah surat Al-Anfaal ayat 75 :
“dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
                        Kejadian selanjutnya diterangkan oleh firman Allah SWT di dalam Al Quran. Sungguh luar biasa skenario Allah SWT. “Dan (ingatlah), saat Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.” (QS al-Anfal 8: 5-7)
Realitanya, memang sulit ketemu/janjian di padang pasir luas pada masa itu, tak ada handphone, di Badar pun tak ada alamatnya apalagi nomor jalan. Pasti sulit bertemu, kecuali dengan qadar Allah. ‘Ingat, kalau engkau berjanji untuk ketemu, pasti tidak akan bisa bertemu,’ Kenapa? Sulit. Tapi ini sudah diatur skenarionya oleh Allah SWT.
Kafilah Abu Sufyan lolos, tidak bertemu dengan pasukan Madinah, namun juga tidak bertemu dengan pasukan Mekkah. Jadi tidak bertemu, memang Allah belokkan, sehingga berselisihan jalan. Setelah kafilahnya lolos, maka Abu Sufyan mengirim pesan ke pasukan Mekkah yang sudah berangkat. “Sesungguhnya kalian keluar hanya untuk menyelamatkan kafilah dagang, orang-orang kalian dan harta benda kalian. Allah telah menyelamatkan semuanya. Karena itu lebih baik kembalilah.”
Setelah menerima surat ini, tebersit keinginan pasukan Mekkah untuk kembali. Tapi dengan sikap yang angkuh dan sombong Abu Jahal berkata, “Aku bersumpah demi Lata dan ‘Uzza, kita tidak akan tinggal diam di tempat ini. Kita akan berangkat menuju Badar, menetap di sana selama 3 hari untuk membinasakan Muhammad dan para sahabatnya. Kita akan mendengarkan nyanyian para biduan dan minum khamar. Selamanya bangsa Arab akan gentar menghadapi kita!”
Sebanyak 300 orang yang tidak setuju dengan Abu Lahab kembali ke Makkah dipimpin al-Akhnas bin Syariq ats-Tsaqafi. Sementara pasukan Makkah dengan kekuatan 1000 orang tetap melanjutkan perjalanan menuju Badar hingga akhirnya mereka tiba di dekat tanah Badar yang berada di balik bukit pasir. Kita kembali ke Rasulullah SAW dan pasukan Madinah.
Rasulullah SAW mengetahui pasukan Quraisy telah tiba di dekat Badar. Melihat perkembangan yang cukup rawan dan tidak terduga-duga ini, maka beliau mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya, meminta pendapat mereka.
Lihat betapa hebat Rasulullah SAW ini sebagai seorang pemimpin.
Para sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sama sekali tidak mengendor dan lebih baik maju terus, demikian juga sahabat Muhajirin yang lain.
Namun Rasulullah SAW ingin mendengar pendapat dari sahabat Anshar. Karena klausul Baiat Aqabah tidak mengharuskan mereka ikut dalam peperangan di luar perkampungan mereka.
Masih ingat di Baiat Aqabah? Waktu itu Sa’ad nbin Mu’adz mengatakan, “Sebutkan syarat antara saya dengan Anda. Kalau seandainya Anda ke kota Madinah, apa yang harus saya lakukan.”
Maka waktu itu Rasulullah SAW menjawab, “Kalian harus menjaga saya seperti halnya kalian menjaga keluarga kalian sendiri, seperti halnya kalian menjaga anak dan istri kalian.”
Sedangkan kali ini posisinya ada di luar Madinah. Bagaimana janjinya ya?
Maka Rasulullah SAW harus meminta Sahabat Anshar untuk mengulangi janjinya.
Karena janji/baiat Aqabah saat itu adalah untuk ketika berada di kota Madinah, sedangkan sekarang posisinya di luar Madinah. Maka sudah lepas janji itu.
Subhanallah, detail Rasulullah ini.
“Wahai para Sahabat Anshar, saya ingin memastikan bagaimana kita kalau di luar Madinah,” kata beliau.
Para Sahabat Anshar mengerti, bahwa baiat dulu mengikat hanya di dalam Madinah.
Miqdad bin Amr mengatakan, “Ya Rasulullah, kalaupun engkau bawa kami ke Barak al-Ghimad, –yaitu suatu tempat di daerah Yaman yang di situ ada 14 kabilah, kabilah yang jahat-garang yang terkenal memusuhi islam– yang akan membunuh kami, kami tidak akan mundur.”
Rasulullah SAW tersenyum gembira mendengarnya.
Lalu Sa’ad bin Mu’adz, simbol kaum Anshar, komandan Anshar dan sekaligus pembawa benderanya, berkata, “Sungguh kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan bersaksi kepadamu, bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami juga telah memberikan sumpah dan janji kami kepadamu untuk selalu mendengarkan dan taat. Teruskanlah wahai Rasulullah, apa yang engkau kehendaki.
Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau tawarkan lautan kepada kami dan engkau menyelam ke dasarnya, kami pun akan menyelam bersamamu. Tidak akan ada seorang pun yang tertinggal dari kami. Maka majulah bersama kami dengan barakah Allah.”
“Demi Allah, jika engkau maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju bersama engkau.”
Wah, para sahabat gagah semuanya. Rasulullah SAW tersenyum mendengarnya. Kaum Muslim lalu melanjutkan perjalanan menuju Badar.




[1] almanhaj.or.id.htm
[2] http://majalahpercikaniman.blogspot.com/2012/05/bedah-hadits.html

4 comments:

Myblog said...

nah daftarnya yang di persaudarakan itu yang saya cari. trims infonya

Unknown said...

sama-sama

Lendir Semangat said...

Anda bisa baca kitab Arab gundul?

Unknown said...

Kalau boleh tau sumbernya dari mana ya yang daftar nama sahabat yang di pertemukan dalam sistem muakhah itu...

Post a Comment

 
;