SIROH NABAWI: MEMPERSAUDARAKAN KAUM MUSLIMIN
MUHAJIRIN DAN ANSHAR
Selain membangun masjid sebagai pusat aktivitas masyarakat,
Rasulullah SAW melakukan sebuah tindakan besar yang memiliki pengaruh luar
biasa dalam sejarah, yaitu mempersaudarakan (muakhah) kaum Muhajirin dan
Anshar. Ibnul Qayyim berkata, “Lalu Rasulullah SAW mempersaudarakan kaum
Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik. Mereka berjumlah 90 orang lelaki.
Separuh dari kalangan Muhajirin dan separuh lagi dari Anshar. Beliau
mempersaudarakan mereka agar saling membantu dan saling mewarisi walaupun tak
punya hubungan darah. Ini berlangsung hingga Perang Badar.”
LATAR BELAKANG
Sebagaimana diketahui, saat kaum Muhajirin berhijrah ke Madinah
tidak membawa seluruh harta. Sebagian besar harta mereka ditinggal di Makkah,
padahal mereka akan menetap di Madinah. Ini jelas menjadi problem bagi mereka
di tempat yang baru. Terlebih lagi, kondisi Madinah yang subur sangat berbeda
dengan kondisi Makkah yang gersang. Keahlian mereka berdagang di Makkah berbeda
dengan mayoritas penduduk Madinah yang bertani. Tak pelak, perbedaan kebiasaan
ini menimbulkan permasalahan baru bagi kaum Muhajirin, baik menyangkut ekonomi,
sosial kemasyarakatan, dan juga kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan
lingkungan baru. Sementara itu, pada saat yang sama harus mencari penghidupan,
padahal kaum Muhajirin tidak memiliki modal. Demikian problem yang dihadapi
kaum Muhajirîn di daerah baru.
Melihat kondisi kaum Muhajirin, dengan landasan kekuatan
persaudaraan, maka kaum Anshâr tak membiarkan saudaranya dalam kesusahan. Kaum
Anshâr dengan pengorbanannya secara total dan sepenuh hati membantu
mengentaskan kesusahan yang dihadapi kaum Muhajirin. Pengorbanan kaum Anshâr
yang mengagumkan ini diabadikan di dalam Al-Qur`ân, surat al-Hasyr/59 ayat 9 : “Dan orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (Anshâr) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).”
TERJALINNYA PERSAUDARAAN
Berkaitan dengan ayat di atas, terdapat sebuah kisah sangat
masyhur yang melatarbelakangi turunnya ayat 9 surat al-Hasyr. Abu Hurairah
Radhiyallahu anhumenceritakan:
“Ada seseorang yang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (dalam keadaan lapar), lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengirim utusan ke para istri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Para istri
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Kami tidak memiliki
apapun kecuali air”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Siapakah di antara kalian yang ingin menjamu orang ini?” Salah seorang
kaum Anshâr berseru: “Saya,” lalu orang Anshar ini membawa lelaki tadi ke rumah
istrinya, (dan) ia berkata: “Muliakanlah tamu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam !” Istrinya menjawab: “Kami tidak memiliki apapun kecuali jatah makanan
untuk anak-anak”. Orang Anshâr itu berkata: "Siapkanlah makananmu itu!
Nyalakanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak kalau mereka minta makan malam!”
Kemudian, wanita itu pun menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan
anak-anaknya. Dia lalu bangkit, seakan hendak memperbaiki lampu dan
memadamkannya. Kedua suami-istri ini memperlihatkan seakan mereka sedang makan.
Setelah itu mereka tidur dalam keadaan lapar. Keesokan harinya, sang suami
datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Malam ini Allah tertawa atau ta’ajjub dengan
perilaku kalian berdua. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya, (yang
artinya): dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung
–Qs. al-Hasyr/59 ayat 9. [HR Bukhari]
Bukhari meriwayatkan, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah,
Rasulullah SAW mempersaudarakan antara ‘Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’
serta anatara Salman Al Farizi dan Abu Darda yang sangat kita kenal kisah tersebut.
Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa orang-orang Anshar berkata
kepada Nabi Saw., “Bagilah kebun kurma kami untuk diberikan kepada
saudara-saudara kami!” Apa jawaban Rasulullah Saw.? “Tidak!” kata beliau. Para
sahabat angkat bicara. “Berikan kepada kami bahan pokoknya dan kami dapat
bergabung dengan kalian dalam memanen
buahnya.” “Kami dengar dan kami taat!” jawab orang-orang Anshar (HR. Bukhari).
Sepanjang sejarah tidak pernah ditemukan sambutan yang begitu
hangat kecuali sambutan sahabat Anshar terhadap Muhajirin. Mereka sangat
mencintai Muhajirin, berani berkorban, berperan aktif, dan sanggup menanggung
bebannya. Keakraban dan cinta Anshar yang sangat mendalam terhadap Muhajirin,
membuat mereka rela mewariskan harta benda mereka. Mereka sangat mengasihi
saudaranya, mengorbankan hartanya, bahkan lebih mementingkan saudaranya
walaupun mereka sendiri kesusahan (itsar). Sementra kaum Muhajirin
menerima dengan sewajarnya, tidak menjadikannya sebagai kesempatan yang
berlebih-lebihan.
Sampai-sampai
orang-orang Muhajirin sendiri, sebagai pendatang yang mendapatkan segala
kebaikan orang Anshar, mengatakan kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah,
kami belum pernah mendapati seperti kaum yang kami datangi ini (yakni kaum
Anshar). Mereka pandai menghibur saat kesulitan dan paling baik berkorban saat
bercukupan. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan berbagi kepada kami
dalam hal tempat tinggal. Sampai-sampai kami khawatir mereka memborong pahala
semuanya.” Rasulullah Saw menjawab, “Tidak (kalian tidak akan kehilangan
pahala), selama kalian memuji mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka.”
Persaudaraan
yang dijalin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berlanjut.
Ketika kaum Muhajirin sudah merasa biasa, tidak asing lagi, dan sudah mengetahui
cara mencari nafkah, maka Allah Azza wa Jalla menggugurkan syariat
waris-mewarisi dengan sebab tali persaudaraan seperti ini, namun tetap
melanggengkan persaudaraan kaum mukminin. Allah Azza wa Jalla berfirman : “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu,
kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab
Allah.“[al-Anfâl/8 : 75]
Dan
firman-Nya : “Dan orang-orang yang
mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam
Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali
kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Yang demikian
itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” [al-Ahzâb/33 : 6].
Peristiwa
penghapusan saling mewarisi ini terjadi pada saat perang Badr. Ada juga riwayat
yang menjelaskan terjadi pada saat perang Uhud.
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyebutkan, yang digugurkan adalah saling
mewarisi, sedangkan tolong-menolong dan saling menasihati tetap disyariatkan.
Dan dua orang yang telah dipersaudarakan bisa mewasiatkan sebagian harta
warisannya untuk saudaranya. Inilah pendapat Imam Nawawi rahimahullah.
HIKMAH
Tentang
muakhah ini, Ustadz Munir Muhammad Ghadban dalam bukunya Fiqhus-Sirah
An-Nabawiyyah memberikan catatan antara lain,
“Konsep muakhah yang dilakukan Rasulullah Saw. adalah yang pertama dalam
sejarah kemanusiaan. Bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan dan memantau langsung
program muakhah ini, tidak mengandalkan orang lain dan tidak hanya memberikan
taujih (arahan) dengan kata-kata. Dengan muakhah, maka hiduplah jiwa kasih
sayang dan kesiapan berkorban.”
Dengan
kedekatan dan persaudaran itu, maka terjadilah proses saling menasihati dan
memperbaiki diri masing-masing. Seorang saudara bisa mendapat pengingatan dari
saudaranya atau sebaliknya mengingatkan saudaranya jika melihat terjadinya
penyimpangan atau kekeliruan. Setiap manusia selalu butuh pihak lain yang
memberikan motivasi di saat lesu dalam beramal dan berjuang, atau menenangkan
jiwa di kala galau, atau meneguhkan hati agar tetap sabar saat berhadapan
dengan segala ujian, rintangan, dan tantangan. Dan, semua itu dapat kita
peroleh manakala ada sebuah lingkaran persudaraaan yang erat dan solid yang
setiap orang bertanggung jawab tentang kondisi saudaranya.
Muakhah
yang dilakukan Rasulullah Saw. paling tidak mempunyai tujuan-tujuan berikut:
1. Untuk
menghilangkan rasa keterasingan dan kesendirian dalam hati para Muhajirin
dengan keberadaan mereka di negeri orang. Sementara mereka hadir di negeri itu
dengan meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan sanak famili.
2. Untuk
merealisasikan atau mewujudkan nilai-nilai al-wala (kesetiaan) dan al-bara
(pemutusan hubungan kesetiaan atau berlepas diri).
3. Setia
dan cinta kepada orang-orang beriman dan menolak kepatuhan dalam kemaksiatan
dan kemungkaran.
4. Menanamkan
ruh senasib sepenanggungan, saling meringankan beban, dan saling berempati
kepada sesama.
5. Muakhah
juga dimaksudkan untuk menjadi solusi bagi persoalan ekonomi kaum Muhajirin.
Mereka datang hanya membawa keiman dan kecintaan kepada Allah serta Rasul-Nya.
Sedangkan harta, bisnis, ladang, dan ternak mereka tinggalkan di Mekkah.
6. Muakhah
merupakan sarana teramat penting bagi upaya konsolidasi umat Rasulullah Saw.
dengan segala potensi dan kekuatannya. Ini adalah upaya Rasulullah Saw. untuk
memastikan bahwa orang-orang beriman benar-benar bagaikan satu tubuh atau satu
bangunan. Wallahu’alam
Dalam
sistem muakhkhah ini nabi Muhammad SAW mempersaudarakan 90 orang, dimana 45
orang dari kaum Muhajirin dan 45 orang lainya berasal dari kaum Anshar. Dari
sumber lain nabi Muhammad mempersaudarakan 150 dari kaum Muhajirin dan 50 orang
dari kaum Anshar. Beberapa orang yang dipersaudarakan nabi Muhammad SAW adalah:
1.
Nabi
Muhammad sendiri dengan Ali bin Abi Thalib.
2.
Abu
bakar Ash-Shidiq dengan Kharizah bin Zaid bin Abu Zuhair Al-Ansari.
3.
Ummar
bin Khatab dengan Utbah bin Malik Al-Anshari.
4.
Ja’far
bin Abu Thalib dengan Mu’adz bin Jabal Al-Anshari.
5.
Hamzah
bin Abdul Muththalib dengan Zaid bin Haritsah.
6.
Abu
Ubaidah bin Al-jarrah dengan Sa’d bin Mu’adz.
7.
Abdur
Rahman bin Auf dengan Sa’ad bin Ar-rabi’.
8.
Az-Zubbair
bin Al-Awwam dengan Salamah bin Salamah.
9.
Thalhah
bin Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik.
10. Utsman bin Affan dengan Aus bin Tsabit.
11. Sa’id bin Zaid dengan Ubay bin Ka’ab.
12. Mush’ab bin Ummair dengan Abu Ayyub.
13. Abu Huzaifah dengan Abbad bin Bisyr.
14. Ammar bin Yassir dengan Hudzaifah
dengan Al-Yaman.
15. Hathib bin Abu Balta’ah dengan Uwaim
bin Sa’idah.
16. Salman Al-Farisi dengan Abu Darda’.
17. Abu Dzarr Al-Ghifari dengan Al-Muddzir
bin ‘Amr.
18. Abu Sabrah bin Abu Rahm dengan salamah
bin Waqsy.
19. Khabbab bin Al-Arat dengan Tamim, maula
Kharasy.
20. Safwan bin Wahb dengan Rabi’ Al-Ajlan.
21. Shuhaib bin Sinan dengan Al-Harits bin
Ash-Shamah.
22. Abdullah bin Akhrammah dengan Farwah
bin Amr.
23. Mas’ud bin Rabi’ah dengan Ubaid bin
At-thihan.
24. Ma’war bin Al-Harits dengan Mu’adz bin
Arfa’.
25. Waqid bin Abdullah bin Abdu Hanaf
dengan Bisyr bin Al-Barra’.
26. Zaid bin Al-Khatthab dengan Ma’an bin
Adi.
27. Al-Arqam bin Abul Arqam dengan Thalhah
bin Zaid.
Setelah adanya sistem Mukhkhah ini kaum
Muhajirin merasa senang karena kaum
Anshar sangat berbaik hati dengan mencukupi kebutuhan sehari hari dan
memberikan pekerjaan kepada kaum Muhajirin, namun kaum Muhajirin merasa cemas
dan khawatir jika kaum Anshar akan mengangkut semua pahala. Mendengar hal ini
Nabi langsung merespon bahwasanya pikiran itu tidak benar dan sesungguhnya jika
kaum Muhajirin memuji dan mendoakan kaum Anshar maka kaum Muhajirin juga akan
mendapatkan pahala.
Atas kebaikan kaum Anshar ini, nabi
Muahammad menyuruh kaum Muhajirin untuk memberikan pujian dan mendoakan kaum
Anshar. Selain mendapat pujian dari nabi Muhammad dan kaum Muhajirin, Allah
juga memberikan pujian terhadap kaum Anshar, sebagaimana tercantum dalam surat
Al-Hasyr ayat 9 :
Saling
mewarisi atas dasar persaudaraan agama ini dilakukan sebelum perang badar,
namun setelah perang badar saling mewarisi harta atas dasar persaudaraan agama
ini tidak berlaku lagi. Dan yang berlaku adalah sitem saling mewarisi atas
dasar hubungan kekerabatan. Hal ini dikarenakan turunya ayat Allah yang
menasakh hukum sebelumnya. Adapun ayat tersebut ialah surat Al-Anfaal ayat 75 :
“dan orang-orang yang
beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka
orang-orang itu Termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan
Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat)di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.”
Kejadian selanjutnya diterangkan oleh
firman Allah SWT di dalam Al Quran. Sungguh luar biasa skenario Allah SWT. “Dan
(ingatlah), saat Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan
(yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tak
mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk
membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.”
(QS al-Anfal 8: 5-7)
Realitanya, memang sulit ketemu/janjian di padang pasir luas pada
masa itu, tak ada handphone, di Badar pun tak ada alamatnya apalagi nomor
jalan. Pasti sulit bertemu, kecuali dengan qadar Allah. ‘Ingat, kalau engkau
berjanji untuk ketemu, pasti tidak akan bisa bertemu,’ Kenapa? Sulit. Tapi ini
sudah diatur skenarionya oleh Allah SWT.
Kafilah Abu Sufyan lolos, tidak bertemu dengan pasukan Madinah,
namun juga tidak bertemu dengan pasukan Mekkah. Jadi tidak bertemu, memang
Allah belokkan, sehingga berselisihan jalan. Setelah kafilahnya lolos, maka Abu
Sufyan mengirim pesan ke pasukan Mekkah yang sudah berangkat. “Sesungguhnya
kalian keluar hanya untuk menyelamatkan kafilah dagang, orang-orang kalian dan
harta benda kalian. Allah telah menyelamatkan semuanya. Karena itu lebih baik kembalilah.”
Setelah menerima surat ini, tebersit keinginan pasukan Mekkah
untuk kembali. Tapi dengan sikap yang angkuh dan sombong Abu Jahal berkata,
“Aku bersumpah demi Lata dan ‘Uzza, kita tidak akan tinggal diam di tempat ini.
Kita akan berangkat menuju Badar, menetap di sana selama 3 hari untuk
membinasakan Muhammad dan para sahabatnya. Kita akan mendengarkan nyanyian para
biduan dan minum khamar. Selamanya bangsa Arab akan gentar menghadapi kita!”
Sebanyak 300 orang yang tidak setuju dengan Abu Lahab kembali ke
Makkah dipimpin al-Akhnas bin Syariq ats-Tsaqafi. Sementara pasukan Makkah
dengan kekuatan 1000 orang tetap melanjutkan perjalanan menuju Badar hingga
akhirnya mereka tiba di dekat tanah Badar yang berada di balik bukit pasir. Kita
kembali ke Rasulullah SAW dan pasukan Madinah.
Rasulullah SAW mengetahui pasukan Quraisy telah tiba di dekat
Badar. Melihat perkembangan yang cukup rawan dan tidak terduga-duga ini, maka
beliau mengadakan musyawarah bersama para sahabatnya, meminta pendapat mereka.
Lihat betapa
hebat Rasulullah SAW ini sebagai seorang pemimpin.
Para sahabat
seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab sama sekali tidak mengendor dan lebih
baik maju terus, demikian juga sahabat Muhajirin yang lain.
Namun
Rasulullah SAW ingin mendengar pendapat dari sahabat Anshar. Karena klausul
Baiat Aqabah tidak mengharuskan mereka ikut dalam peperangan di luar
perkampungan mereka.
Masih ingat
di Baiat Aqabah? Waktu itu Sa’ad nbin Mu’adz mengatakan, “Sebutkan syarat
antara saya dengan Anda. Kalau seandainya Anda ke kota Madinah, apa yang harus
saya lakukan.”
Maka waktu
itu Rasulullah SAW menjawab, “Kalian harus menjaga saya seperti halnya kalian
menjaga keluarga kalian sendiri, seperti halnya kalian menjaga anak dan istri
kalian.”
Sedangkan
kali ini posisinya ada di luar Madinah. Bagaimana janjinya ya?
Maka Rasulullah SAW harus meminta Sahabat Anshar untuk mengulangi janjinya.
Karena janji/baiat Aqabah saat itu adalah untuk ketika berada di kota Madinah,
sedangkan sekarang posisinya di luar Madinah. Maka sudah lepas janji itu.
Subhanallah, detail Rasulullah ini.
“Wahai para
Sahabat Anshar, saya ingin memastikan bagaimana kita kalau di luar Madinah,”
kata beliau.
Para Sahabat
Anshar mengerti, bahwa baiat dulu mengikat hanya di dalam Madinah.
Miqdad bin
Amr mengatakan, “Ya Rasulullah, kalaupun engkau bawa kami ke Barak al-Ghimad,
–yaitu suatu tempat di daerah Yaman yang di situ ada 14 kabilah, kabilah yang
jahat-garang yang terkenal memusuhi islam– yang akan membunuh kami, kami tidak
akan mundur.”
Rasulullah
SAW tersenyum gembira mendengarnya.
Lalu Sa’ad
bin Mu’adz, simbol kaum Anshar, komandan Anshar dan sekaligus pembawa
benderanya, berkata, “Sungguh kami telah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan
bersaksi kepadamu, bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Kami juga telah
memberikan sumpah dan janji kami kepadamu untuk selalu mendengarkan dan taat.
Teruskanlah wahai Rasulullah, apa yang engkau kehendaki.
Demi Zat
yang mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau tawarkan lautan kepada kami dan
engkau menyelam ke dasarnya, kami pun akan menyelam bersamamu. Tidak akan ada
seorang pun yang tertinggal dari kami. Maka majulah bersama kami dengan barakah
Allah.”
“Demi Allah,
jika engkau maju hingga mencapai dasar sumur yang gelap, tentu kami akan maju
bersama engkau.”
Wah, para
sahabat gagah semuanya. Rasulullah SAW tersenyum mendengarnya. Kaum Muslim lalu
melanjutkan perjalanan menuju Badar.